LINGUISTIK UMUM
Linguistik
adalah ilmu bahasa , atau telaah ilmiah mengenai bahasa manusia
Linguistik juga sering disebut lingistik umum (general linguistics) karena linguistik tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja (seperti bahasa jawa), melainkan mengkaji bahasa pada umumnya.
Linguistik umum adalah linguistik yang mempelajari : kaidah-kaidah bahasa secara umum, bukan bahasa tertentu. Kaidah-kaidah khusus / spesifik mempelajari bahasa arab/bahasa sunda. Kajian khusus ini juga bisa dilakukan terhadap satu rumpun / subrumpun bahasa misal rumpun bahasa austronesia, atau subrumpun indo-german.
Langage : berarti bahasa secara umum, seperti tampak dalam ungkapan “manusia punya bahasa sementara hewan tidak”.
Langue : artinya suatu bahasa tertentu, seperti bahasa arab, bahasa inggris, atau bahasa jawa
Parole : adalah bahasa dalam wujudnya yang konkret yang berupa ujaran.
Linguistik juga sering disebut lingistik umum (general linguistics) karena linguistik tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja (seperti bahasa jawa), melainkan mengkaji bahasa pada umumnya.
Linguistik umum adalah linguistik yang mempelajari : kaidah-kaidah bahasa secara umum, bukan bahasa tertentu. Kaidah-kaidah khusus / spesifik mempelajari bahasa arab/bahasa sunda. Kajian khusus ini juga bisa dilakukan terhadap satu rumpun / subrumpun bahasa misal rumpun bahasa austronesia, atau subrumpun indo-german.
Langage : berarti bahasa secara umum, seperti tampak dalam ungkapan “manusia punya bahasa sementara hewan tidak”.
Langue : artinya suatu bahasa tertentu, seperti bahasa arab, bahasa inggris, atau bahasa jawa
Parole : adalah bahasa dalam wujudnya yang konkret yang berupa ujaran.
OBJEK LINGUISTIK: BAHASA
PENGERTIAN
BAHASA
Kata bahasa
dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian. Kata bahasa
yang terdapat pada kalimat bisa menunjuk pada beberapa arti atau kategori lain.
Menurut peristilahan de Saussure, bahasa bisa berperan sebagai parole,
langue, langage. Sebagai objek kajian linguistik, karole merupakan objek
konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para
bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak
karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan.
Langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa
yang universal.
“ Apakah
bahasa itu?” Seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983 dan juga dalam Djoko
Kentjono 1982) “ Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi,
dan mengidentifikasi diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari
Barber(1964: 21), Wardhaugh(1977:3), Trager(1949:18), de Saussure(1966:16) dan
Bolinger(1975:15).
Masalah yang
berkeneen dengan pengertian bahasa adalah bilamana sebuah tuturan disebut
bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya dan bilamana hanya dianggap sebagai
varian dari suatu bahasa lainnya dan hanya dianggap sebagai varian dari suatu
bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda
berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan linguistis dan patokan politis.
Masalah lain adalah arti bahasa dalam pendidikan formal di sekolah menengah
bahwa” bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah tetapi juga
tidak benar sebab hanya mengatakan” bahasa adalah alat”.
Oleh karena
itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti tidak ada
kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena ”rumitnya”
menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang
lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa
yang ada di dunia ini.
HAKIKAT
BAHASA
Beberapa
ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa adalah
Bahasa
sebagi Sistem
Kata sistem
sudah biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari dengan makna ‘cara’ atau
‘aturan’, tapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem bararti susunan teratur
berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sebagai
sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan
sistematis, artinya bahasa itu tersusun menurut pola, tidak tersusun secara
acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya bahasa itu bukan
merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub- subsistem atau sistem
bawahan.
Bahasa
sebagai Lambang
Kata lambang
sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama. Lambang
dikaji orang dengan kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu
Semiotika atau Semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada
dalam kehidupan manusia termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi
dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang
(simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode,
indeks, dan ikon. Dengan begitu, bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud
bunyi- bahasa, bukan dalam wujud lain.
Bahasa
adalah Bunyi
Sistem
bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata bunyi, sering
sukar dibedakan dengan kata suara. Secara teknik, menurut Kridalaksana (1983:
27) bunyi adalah kesan dari pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang
telinga yang bereaksi karena perubahan- perubahan dalam tekanan udara. Lalu
yang dimaksud dengan bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah
bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Jadi, bunyi yang bukan
dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Tetapi tidak
semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa,
seperti teriak, bersin, batuk- batuk, dan sebagainya.
Bahasa itu
Bermakna
Bahasa itu
adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, maka tentu ada yang dilambangkan.
Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau pikiran yang
ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang- lambang itu mengacu
pada suatu konsep, ide atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa
itu mempunyai makna. Lambang- lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam
bahasa berupa satuan- satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa,
kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak
mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
Bahasa itu
Arbitrer
Kata
arbitrer bisa diartikan “ sewenang- wenang, berubah- ubah, tidak tetap, mana
suka”. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan
wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau
pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Bahasa itu
Konvensional
Meskipun
hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer,
tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat
konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi
bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
Bahasa itu
Produktif
Kata
produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah
“ banyak hasilnya “ atau lebih tepat “ terus- menerus menghasilkan “. Lalu,
kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsur- unsur
bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur- unsur yang jumlahnya terbatas itu
dapat dibuat satuan- satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara
relatif, sesuai dengan sistem yamg berlaku dalam bahasa itu.
Bahasa itu
Unik
Unik artinya
mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahasa
dikatakan unik yang artinya setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki oleh bahasa lain. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa
tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis, artinya jika kita
memberi tekanan pada kata dalam kalimat maka makna kata itu tetap.
Bahasa itu
Universal
Bahasa
bersifat universal artinya ada ciri- ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini. Ciri- ciri yang universal ini tentunya merupakan
unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri- ciri atau
sifat- sifat bahasa lain.
Bahasa itu
Dinamis
Bahasa
adalah satu- satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang
berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu
dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat, kegiatan
manusia itu tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut
berubah, menjadi tidak tetap dan tidak statis. Karena itulah bahasa itu disebut
dinamis.
Bahasa itu
Bervariasi
Anggota
masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai
status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota
masyarakat bahasa itu ada yang berpndidikan baik ada juga yang tidak, ada yang
tinggal di kota ada yang tinggal di desa, ada orang dewasa dan kanak- kanak.
Oleh karena latar belakang dan lingkungannya tidak sama maka bahasa yang mereka
gunakan menjadi bervariasi atau beragam.
Bahasa itu
Manusiawi
Alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti
hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Alat komunikasi
binatang bersifat terbatas. Dalam arti hanya untuk keperluan hidup “
kebinatangannya” itu saja. Kalaupun ada binatang yang dapat mengerti dan
memahami serta melakukan perintah manusia dalam bahasa manusia adalah berkat
latihan yang diberikan kepadanya.
BAHASA DAN
FAKTOR LUAR BAHASA
Objek kajian
linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri,
sedangkan kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan
faktor- faktor di luar bahasa yaitu tidak lain daripada segala hal yang
berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan
yang tanpa berhubungan dengan bahasa.
Masyarakat
Bahasa
Kata
masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang (dalam jumlah yang
banyaknya relatif ), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat
tinggal atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Yang dimaksud dengan
masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang
sama. Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa pada “ merasa menggunakan
bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat
menjadi sempit.
Variasi dan
Status Sosial Bahasa
Dalam
beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya
dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang
pertama adalah variasi bahasa tinggi ( T ) digunakan dalam situasi- situasi
resmi, seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah,
surat- menyurat resmi dan buku pelajaran, variasi T ini harus dipelajari
melalui pendidikan formal di sekolah- sekolah. Yang kedua adalah variasi bahasa
rendah ( R ) digunakan dalam situasi tidak formal, seperti di rumah, di warung,
di jalan, dalam surat- surat pribadi dan catatan untuk diri sendiri, variasi R
ini dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umum dan tidak pernah dalam
pendidikan formal. Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut
dengan istilah diglosia ( Ferguson 1964 ). Masyarakat yang mengadakan pembedaan
ini disebut masyarakat diglosis.
Penggunaan
Bahasa
Adanya
berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita
harus menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat. Hymes (1974) seorang pakar
sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa
harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
- Setting and scene, yaitu unsur
yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan
- Participants, yaitu orang-
orang yang terlibat dalam percakapan
- Ends, yaitu maksud dan hasil
percakapan
- Act sequences, yaitu hal yang
menunjuk pada bentuk dan isi percakapan
- Key, yaitu yang menunjuk pada
cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan
- Instrumentalities, yaitu yang
menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan
- Norms, yaitu yang menunjuk pada
norma perilaku peserta percakapan
- Genres, yaitu menunjuk pada
kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Kedelapan
unsur tersebut dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam berkomunikasai lewat
bahasa harus diperhatikan faktor- faktor siapa lawan atau mitra bicara kita,
tentang apa, situasinya bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa dan ragam bahasa
yang digunakan yang mana.
Kontak
Bahasa
Dalam
masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan
anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat,
akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang
menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang
datang. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa
ini adalah terjadinya atau terdapatnya apa yang disebut bilingualisme dan
multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, sepertu interferensi,
integrasi, alihkode, dan campurkode.
Bahasa dan
Budaya
Satu lagi
yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa
dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada suatu hipotesisyang
sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan ini. Hipotesis ini
dikeluarkan oleh dua orang pakar, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (
hipotesis Sapir- Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan
atau bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat
penuturnya. Jadi bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Apa
yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat- sifat bahasanya.
KLASIFIKASI
BAHASA
Klasifikasi
dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. Bahasa yang
mempunyai kesamaan ciri dimasukkan dalam satu kelompok. Menurut Greenberg
(1957: 66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer,
ekhaustik, dan unik. Nonarbitrer maksudnya bahwa kriteria klasifikasi hanya
harus ada satu kriteria, maka hasilnya akan ekhaustik. Artinya, setelah
klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya, semua bahasa yang ada dapat masuk
ke dalam salah satu kelompok. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik,
maksudnya kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok, dia
tidak bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain, kalau masuk ke dalam dua
kelompok atau lebih berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.
Klasifikasi
Genetis
Klasifikasi
genetis disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis
keturunan bahasa- bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan
dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa
pro ( bahasa tua, bahasa semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau
lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa- bahasa lain.
Kemudian bahasa- bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa- bahasa pecahan
berikutnya.
Klasifikasi
genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti yaitu atas kesamaan
bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa- bahasa yang memiliki
sejumlah kesamaan seperti itu dianggap berasal dari bahasa asal atau bahasa
proto yang sama. Apa yang dilakukan dalam klasifikasi genetis ini sebenarnya
sama dengan teknik yang dilakukan dalam linguistik historis komparatif, yaitu
adanya korespondensi bentuk (bunyi) dan makna. Oleh karena itu, klasifikasi
genetis bisa dikatakan merupakan hasil pekerjaan linguistik historis
komparatif. Klasifikasi genetis juga menunjukkan bahwa perkembangan bahasa-
bahasa di dunia ini bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak,
tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan teknologi
komunikasi yang semakin canggih, perkembangan yang konvergensif tampaknya akan
lebih mungkin dapat terjadi.
Klasifikasi
Tipologis
Klasifikasi
tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe- tipe yang terdapat
pada sejumlah bahasa. Tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul
berulang- ulang dalam suatu bahasa. Klasifikasi tipologi ini dapat dilakukan
pada semua tataran bahasa. Maka hasil klasifikasinya dapat bermacam- macam,
akibatnya menjadi bersifat arbitrer karena tidak terikat oleh tipe tertentu.
Klasifikasi
pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar
dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
§ Kelompok
pertama adalah yang semata- mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar
klasifikasi. ( klasifikasi morfologi oleh Fredrich Von Schlegel)
§ Kelompok
kedua adalah yang menggunakan akar kata sebagai dasar klasifikasi ( oleh Franz
Bopp).
§ Kelompok
ketiga adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi,
pakarnya antara lain H. Steinthal.
Pada abad XX
ada juga pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya yang
dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954).
Klasifikasi
Areal
Klasifikasi
areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa
memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak.
Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam kontak sejarah bahasa- bahasa
itu memberikan pengaruh timbal balik dalam hal- hal tertentu yang terbatas.
Klasifikasi inipun bersifat non ekhaustik, sebab masih banyak bahasa- bahasa di
dunia ini yang masih bersifat tertutup dalam arti belum menerima unsur- unsur
luar. Selain itu, klasifikasi inipun bersifat non unik, sebab ada kemungkinan
sebuah bahasa dapat masuk dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam
kelompok lainnya lagi. Usaha klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm
Schmidt (1868- 1954) dalam bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise der
Ende, yang dilampiri dengan peta.
Klasifikasi
Sosiolinguistik
Klasifikasi
sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-
faktor yang berlaku dalam masyarakat, tepatnya berdasarkan status, fungsi,
penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi
sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 yang
dapat kita baca dalam artikelnya “ An Outline of Linguistic Typology for
Describing Multilingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri
atau kriteria, yaitu :
- historisitas berkenaan dengan
sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu,
- standardisasi berkenaan dengan
statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku atau statusnya dalam
pemakaian formal atau tidak formal,
- vitalitas berkenaan dengan
apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan
sehari- hari secara aktif atau tidak,
- homogenesitas berkenaan dengan
apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
Dengan
menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa menjadi ekshaustik
sebab semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok-
kelompok tertentu. Tetapi hasil ini tidak unik sebab sebuah bahasa bisa
mempunyai status yang berbeda.
BAHASA TULIS
DAN SISTEM AKSARA
Dalam bagian
yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem bunyi. Jadi
bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga sudah disebutkan bahwa linguistik
melihat bahasa itu adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang
dituliskan. Namun linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa
tulis, sebab apapun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek
linguistik, padahal bahasa tulis dekat sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya
masalahnya, linguistik juga punya prioritas dalam kajiannya. Begitulah, maka
bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah
sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah saat ini masih
banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu
hanya digunakan secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bahasa itu
belum dikenal ragam bahasa tulisan, yang ada hanya ragam bahasa lisan.
Bahasa tulis
sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan, sebagai usaha manusia
untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang
berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Namun, ternyata rekaman bahasa tulis
sangat tidak sempurna. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi,
dan nada yang tidak dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis, padahal
dalam berbagai bahasa tertentu tiga unsur itu sangat penting.
Apakah
bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana? Meskipun dari awal
sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak lain daripada rekaman
bahasa lisan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan besar antara bahasa tulis
dengan bahasa lisan. Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang dituliskan seperti
yang terjadi kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman. Bahasa
tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau tidak
hati- hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya
kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan
itu tidak bisa secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam
bahasa lisan setiap kesalahan bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa lisan
sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik, dan gerak- gerik si pembicara.
Berbicara
mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan
manusia mulai menggunakan tulisan. Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisan itu
ditemukan oleh Cadmus, seorang pangeran dari Phunisia dan lalu membawanya ke
Yunani. Dalam fable Cina dikisahkan bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang
Chien Tuhan bermata empat, dan sebagainya. Para ahli dewasa ini memperkirakan
tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat dari gua-gua
di Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar- gambar itu
dengan bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud atau konsep
yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan sebagai
sistem tulisan disebut piktograf.
Beberapa
waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar menjadi sistem tulisan
yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf yang berupa satu
gambar, melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf ini selanjutnya
tidak lagi menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah digunakan untuk
menggambarkan sifat benda atau konsep yang berhubungan dengan benda itu.
Piktograf yang menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf.
Kemudian ideograf berubah menjadi lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi
hubungan langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud. Sistem demikian, yang
menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu dalam
perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang Yunani yang
kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan
menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf. Selanjutnya, aksara
Yunani ini diambil alih pula oleh orang Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi
aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia.
Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan dengan penyebaran agama Kristen
oleh orang Eropa.
Jadi, sudah
dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu aksara piktografis,
aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua jenis aksara itu
tidak ada yang bisa “merekam” bahasa lisan secara sempurna. Banyak unsur bahasa
lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan tepat dan akurat.
Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur- unsur bahasa lisan hanyalah
huruf besar untuk memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk
menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda seru
untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan penggabungan.
Bahasa- bahasa di dunia ini dewasa ini lebih umum menggunakan aksara Latin
daripada aksara lain. Aksara Latin adalah aksara yang tidak bersifat silabis.
Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan.
Huruf vokal untuk melambangkan fonem vokal dan huruf konsonan untuk
melambangkan fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan. Hubungan antara
fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna dalam suatu
bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam aksara)
ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang satu dengan bahasa
yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa tidak sama dengan
jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.
Ada pendapat
umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap
fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya dipakai untuk
melambangkan satu fonem. Jika demikian, ternyata ejaan bahasa Indonesia belum
seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk
melambangkan sebuah fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh
lebih baik daripada ejaan bahasa Inggris.
TATARAN LINGUISTIK : FONOLOGI
Fonologi
ialah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari tata bunyi/kaidah bunyi dan cara
menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari? Karena wujud bahasa yang
paling primer adalah bunyi. Bunyi adalah Getaran udara yang masuk ke telinga
sehingga menimbulkan suara.
Bunyi bahasa
adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga faktor, yaitu pernafasan (sebagai sumber
tenaga), alat ucap (yang menimbulkan getaran), dan rongga pengubah getaran
(pita suara). Fonologi dibedakan menjadi, fonetik dan fonemik. Didalam fonologi
terdapat istilah fonem, fon, dan alofon. Fonem adalah satuan bunyi terkecil
yang masih abstrak atau yang tidak diartikulasikan. Fonem merupakan aspek
bahasa pada aspek langue (istilah de Sausure), misalnya /t/. /d/, /c/.
Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi yang
diartikulasikan (diucapkan) misalnya {lari}. Alofon adalah perbedaan bunyi yang
tidak menimbulkan perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam
/menangIs/.
Bunyi Vokal
: bunyi yang tidak mengalami hambatan di daerah artikulator. Disebut juga
huruf hidup karena dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan.
Terdiri dari : a, i, u, e, o. Diftong → au, ai, oi.
Fonetik
4.2 Klasifikasi vokal :
Berdasarkan bentuk bibir
· Vokal bulat → a, o, u
· Vokal lonjong → i, e
4.2 Klasifikasi vokal :
Berdasarkan bentuk bibir
· Vokal bulat → a, o, u
· Vokal lonjong → i, e
Berdasarkan
tinggi rendah lidah
· Tinggi → i
· Tengah → e
· Bawah → a
· Tinggi → i
· Tengah → e
· Bawah → a
Berdasarkan
maju mundurnya lidah
· Depan → i, a
· Tengah → e
· Belakang → o
· Depan → i, a
· Tengah → e
· Belakang → o
4.3 Bunyi
Konsonan
Bunyi
Konsonan adalah bunyi yang mengalami hambatan dalam pengucapan.
4.3.1.
Pembentukan konsonan
a)
Bilabial : pembentukan konsonan oleh 2 bibir. (b, p, m)
b)
Apikodental : pembentukan konsonan oleh ujung lidah dan gigi (t, d, h)
c)
Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan bibir (f, v)
d)
Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e)
Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f)
Hamzah (glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama sekali.
g)
Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui geseran.
4.4
Macam-macam bunyi bahasa
a. Bunyi
Segmental
Bunyi
segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita
suara. Bunyi Segmental ada empat macam
- Konsonan= bunyi yang terhambat
oleh alat ucap
- Vokal = bunyi yang tidak
terhambat oleh alat ucap
- Diftong= dua vokal yang dibaca
satu bunyi, misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
- Kluster= dua konsonan yang
dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan
Rangkap
ng:
yang
ny:
nyonya
kh:
khusus, khas, khitmad,
pr:
produksi, prakarya, proses
kr:
kredit, kreatif, kritis, krisis
sy:
syarat, syah, syukur
str:
struktur, strata, strategi
spr:
sprai
tr :
tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.
b. Bunyi
Supra Segmental
Dalam suatu
runtutan bunyi yang sambung-bersambung terus-menerus diselangseling dengan jeda
singkat atau agak singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah
bunyi, panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat disegmentasikan yang disebut
bunyi segmental.
1
. Tekanan atau Stres
Menyangkut
masalah keras lunaknya bunyi.
2
. Nada atau Pitch
Berkenaan
dengan tinggi rendahnya bunyi.
3
Jeda atau Persendian
Berkenaan
dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar
kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar
frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar
kalimat, diberi tanda ( # )
Fonemik
Pengertian
Fonemik
1. Fonetik
adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum,
tanpa memperhatikan makna, yang tidak bersifat fungsional, kajian bunyi bahasa
manapun. Sedangkan fonemik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari
bahasa tertentu yang memperhatikan perbedaan makna.
2. Fonemisasi adalah salah satu prosedur atau cara menemukan fonem suatu bahasa. Penemuan fonem suatu bahasa itu didasarkan pada data-data yang secara fonetis akurat. Salah satu prosedur fonemisasi adalah “pasangan minimal” (minimal pairs). Pasangan minimal, yaitu bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi yang tidak sama. Hasil dari fonemisasi dengan prosedur pasangan minimal adalah ditemukannya suatu fonem, yaitu satuan bunyi yang terkecil yang fungsional atau distingtif, dalam arti membedakan makna.
2. Fonemisasi adalah salah satu prosedur atau cara menemukan fonem suatu bahasa. Penemuan fonem suatu bahasa itu didasarkan pada data-data yang secara fonetis akurat. Salah satu prosedur fonemisasi adalah “pasangan minimal” (minimal pairs). Pasangan minimal, yaitu bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi yang tidak sama. Hasil dari fonemisasi dengan prosedur pasangan minimal adalah ditemukannya suatu fonem, yaitu satuan bunyi yang terkecil yang fungsional atau distingtif, dalam arti membedakan makna.
Asimilasi
merupakan peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat
dari bunyi yang ada di lingkungannya. Disimilasi yaitu perubahan dua buah fonem
yang sama menjadi fonem yang berlainan. Kontraksi adalah pemendekan bentuk
ujaran yang ditandai dengan hilangnya sebuah fonem atau lebih.
Fonem dan
grafem
Fonem adalah
satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata.
Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus
dicari pasangan minimalnya.
Alofon
merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam wujud tulisan
atau transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya
adalah […]. Grafem merupakan pelambangan fonem ke dalam transkripsi ortografis,
yaitu penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada
suatu bahasa, atau penulisan menurut huruf dan ejaan suatu bahasa.
TATARAN LINGUISTIK : MORFOLOGI
Identifikasi
Morfem
Untuk
menentukan bahwa sebuah satuan bentuk merupakan morfem atau bukan kita harus
membandingkan bentuk tersebut di dalam bentuk lain. Bila satuan bentuk tersebut
dapat hadir secara berulang dan punya makna sama, maka bentuk tersebut
merupakan morfem. Dalam studi morfologi satuan bentuk yang merupakan morfem diapit
dengan kurung kurawal ({ }) kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
Morf dan
Alomorf
Morf adalah
nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya. Sedangkan Alomorf nama
untuk bentuk bila sudah diketahui status morfemnya (bentuk-bentuk realisasi
yang berlainan dari morfem yang sama) .
Melihat .
me-
Membawa .
mem-
Menyanyi .
meny-
Menggoda .
meng-
Klasifikasi
Morfem
Klasifikasi
morfem didasarkan pada kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
Morfem bebas
dan Morfem terikat
Morfem Bebas
adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan.
Sedangkan yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung
dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Berkenaan dengan
morfem terikat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama bentuk-bentuk
seperti : juang, henti, gaul, dan , baur termasuk morfem terikat. Sebab
meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam petuturan tanpa terlebih dahulu
mengalami proses morfologi. Bentuk lazim tersebut disebut prakategorial. Kedua,
bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk prakategorial karena
bentuk tersebut merupakan pangkal kata, sehingga baru muncul dalam petuturan
sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga bentuk seperti : tua (tua renta), kerontang
(kering kerontang), hanya dapat muncul dalam pasangan tertentu juga, termasuk
morfem terikat. Keempat, bentuk seperti ke, daripada, dan kalau secara
morfologis termasuk morfem bebas. Tetapi secara sintaksis merupakan bentuk
terikat. Kelima disebut klitika. Klitka adalah bentuk singkat, biasanya satu
silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam
pertuturan selalu melekat tetapi tidak dipisahkan .
Morfem Utuh
dan Morfem Terbagi
Morfem utuh
adalah morfem dasar, merupakan kesatuan utuh. Morfem terbagi adalah sebuah
morfem yang terdiri dari dua bagian terpisah. Catatan yang perlu diperhatikan
dalam morfem terbagi. Pertama, semua afiks disebut konfiks termasuk
morfem terbagi. Untuk menentukan konfiks atau bukan, harus diperhatikan makna
gramatikal yang disandang. Kedua, ada afiks yang disebut sufiks yakni yang
disisipkan di tengah morfem dasar.
Morfem
Segmental dan Suprasegmental
Morfem
segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem segmental. Morfem
suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur suprasegmental seperti
tekanan, nada, durasi.
Morfem
beralomorf zero
Morfem
beralomorf zero adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi
segmental maupun berupa prosodi melainkan kekosongan.
Morfem
bermakna Leksikal dan Morfem tidak bermakna Leksikal
Morfem
bermakna leksikal adalah morfem yang secara inheren memiliki makna pada dirinya
sendiri tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Sedangkan morfem yang tidak
bermakna leksikal adalah tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri.
Morfem
Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem), dan Akar(root)
Morfem dasar
bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi bisa diulang dalam suatu
reduplikasi, bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Pangkal
digunakan untuk menyebut bentuk dasar dari proses infleksi. Akar digunakan
untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh.
TATARAN LINGUISTIK : SINTAKSIS
Kajian
Sintaksis
Morfosintaksis
yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis. Morfologi membicarakan tentang
struktur internal kata. Sintaksis membicarakan tentang hubungan kata dengan
kata lain.
Struktur
Sintaksis
Struktur
sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran
sintaksis. Dalam fungsi sintaksis ada hal-hal penting yaitu subjek,
predikat, dan objek. Dalam kategori sintaksis ada istilah nomina, verba,
adjektiva, dan numeralia. Dalam peran sintaksis ada istilah pelaku, penderita,
dan penerima. Menurut Verhaar (1978), fungsi-fungsi S, P, O, dan K merupakan
kotak kosong yang diisi kategori dan peranan tertentu.
Contohnya:
Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
S P O K
pelaku
sasaran
Kalimat
pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
S P O K
sasaran
pelaku
Agar menjadi
kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus berurutan dan tidak disisipi
kata di antara keduanya. Struktur sintaksis minimal mempunyai fungsi subjek dan
predikat seperti pada verba intransitif yang tidak membutuhkan objek.
Contohnya:
Kakek makan.
Verba
transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya:
Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut
Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya:
Kalimat seruan: Hebat!
Kalimat
jawaban: Sudah!
Kalimat
perintah: Baca!
Fungsi-fungsi
sintaksis harus diisi kategori-kategori yang sesuai. Fungsi subjek diisi
kategori nomina, fungsi predikat diisi kategori verba, fungsi objek diisi
kategori nomina, dan fungsi keterangan diisi kategori adverbia.
Contohnya:
Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
S O S P O
Kata
“adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba kopula, seperti to be pada
bahasa Inggris.
-
Berenang menyehatkan tubuh.
S P O
Kata
“berenang” menjadi berkategori nomina karena yang dimaksud adalah pekerjaan
berenangnya. Peran dalam struktur sintaksis tergantung pada makna
gramatikalnya. Kata yang bermakna pelaku dan penerima tetap tidak berubah
walaupun kata kerja yang aktif diganti menjadi pasif. Pelaku berarti objek yang
melakukan pekerjaan. Penerima berarti objek yang dikenai pekerjaan. Makna
pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal. Eksistensi struktur sintaksis
terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan urutan
kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya:
tiga jam – jam tiga.
Nenek
melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam
kalimat aktif transitif mempunyai kendala gramatikal yaitu fungsi predikat dan
objek tidak dapat diselipi kata keterangan.
Contohnya:
Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi
merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga menimbulkan perbedaan makna.
Intonasi ada tiga macam yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus
deklaratif atau berita dengan tanda titik, intonasi interogatif dengan tanda
tanya, dan intonasi interjektif dengan tanda seru. Intonasi juga dapat berupa
nada naik atau tekanan.
Contohnya:
Kucing / makan tikus mati.
Kucing makan
tikus / mati.
Kalimat
tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran gramatikal yang berbeda yang
disebut ambigu atau taksa. Konektor bertugas menghubungkan konstituen satu
dengan yang lain. dilihat dari sifatnya, ada dua macam konektor. Konektor
koordinatif menghubungkan dua konstituen sederajat. Konjungsinya seperti dan,
atau, dan tetapi. Contohnya: Nenek dan kakek pergi ke sawah. Konektor
subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak sederajat. Konjungsinya
seperti kalau, meskipun, dan karena. Contohnya: Kalau diundang, saya tentu akan
datang.
Frase
Frase adalah
satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui
batas fungsi. Misalnya: akan datang, kemarin pagi, yang sedang menulis.
Dari batasan
di atas dapatlah dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat, yaitu
a.
Frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b.
Frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya
frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau
K.
Macam-macam
frase:
A.
Frase endosentrik
Frase
endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.
Frase endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1.
Frase endosentrik yang koordinatif, yaitu: frase yang terdiri dari unsur-unsur
yang setara, ini dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan
kata penghubung.
Misalnya:
kakek-nenek : pembinaan dan pengembangan
laki
bini : belajar atau
bekerja
2.
Frase endosentrik yang atributif, yaitu frase yang terdiri dari
unsur-unsur yang tidak setara. Karena itu, unsur-unsurnya tidak mungkin
dihubungkan.
Misalnya:
perjalanan panjang
hari libur
Perjalanan,
hari merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara distribusional sama dengan
seluruh frase dan secara semantik merupakan unsur terpenting, sedangkan unsur
lainnya merupakan atributif.
3.
Frase endosentrik yang apositif: frase yang atributnya berupa aposisi/
keterangan tambahan.
Misalnya:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai.
Dalam frase
Susi, anak Pak Saleh secara sematik unsur yang satu, dalam hal ini unsur anak
Pak Saleh, sama dengan unsur lainnya, yaitu Susi. Karena, unsur anak Pak Saleh
dapat menggantikan unsur Susi. Perhatikan jajaran berikut:
Susi, anak
Pak Saleh, sangat pandai
Susi, ….,
sangat pandai.
…., anak Pak
Saleh sangat pandai.
Unsur Susi
merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak Pak Saleh merupakan aposisi (Ap).
B.
Frase Eksosentrik
Frase
eksosentrik ialah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan
unsurnya.
Misalnya:
Siswa kelas
1A sedang bergotong royong di dalam kelas.
Frase di
dalam kelas tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Ketidaksamaan
itu dapat dilihat dari jajaran berikut:
Siswa kelas
1A sedang bergotong royong di ….
Siswa kelas
1A sedang bergotong royong …. kelas
C.
Frase Nominal, frase Verbal, frase Bilangan, frase Keterangan.
1.
Frase Nominal: frase yang memiliki distributif yang sama dengan kata nominal.
Misalnya:
baju baru, rumah sakit
2.
Frase Verbal: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan golongan kata
verbal.
Misalnya:
akan berlayar
3.
Frase Bilangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.
Misalnya:
dua butir telur, sepuluh keping
4.
Frase Keterangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata
keterangan.
Misalnya:
tadi pagi, besok sore
5.
Frase Depan: frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh
kata atau frase sebagai
aksinnya.
Misalnya: di
halaman sekolah, dari desa
D.
Frase Ambigu
Frase ambigu
artinya kegandaan makna yang menimbulkan keraguan atau mengaburkan maksud
kalimat. Makna ganda seperti itu disebut ambigu.
Misalnya:
Perusahaan pakaian milik perancang busana wanita terkenal, tempat mamaku
bekerja, berbaik hati mau melunaskan semua tunggakan sekolahku.
Frase
perancang busana wanita dapat menimbulkan pengertian ganda:
1.
Perancang busana yang berjenis kelamin wanita.
2.
Perancang yang menciptakan model busana untuk wanita.
Klausa
Klausa
adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat (P) baik
disertai objek (O), dan keterangan (K), serta memilki potensi untuk menjadi
kalimat. Misalnya: banyak orang mengatakan.
Unsur inti
klausa ialah subjek (S) dan predikat (P).
Penggolongan
klausa:
1.
Berdasarkan unsur intinya
2.
Berdasarkan ada tidaknya kata negatif yang secara gramatik menegatifkan
predikat
3.
Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat
Kalimat
a.
Pengertian
Kalimat
adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung
pikiran yang lengkap dan punya pola intonasi akhir.
Contoh: Ayah
membaca koran di teras belakang.
b.
Pola-pola kalimat
Sebuah
kalimat luas dapat dipulangkan pada pola-pola dasar yang dianggap menjadi dasar
pembentukan kalimat luas itu.
1.
Pola kalimat I = kata benda-kata kerja
Contoh: Adik
menangis. Anjing dipukul.
Pola kalimat
I disebut kalimat ”verbal”
2.
Pola kalimat II = kata benda-kata sifat
Contoh: Anak
malas. Gunung tinggi.
Pola kalimat
II disebut pola kalimat ”atributif”
3.
Pola kalimat III = kata benda-kata benda
Contoh:
Bapak pengarang. Paman Guru
Pola pikir
kalimat III disebut kalimat nominal atau kalimat ekuasional. Kalimat ini
mengandung kata kerja bantu, seperti: adalah, menjadi, merupakan.
4.
Pola kalimat IV (pola tambahan) = kata benda-adverbial
Contoh: Ibu
ke pasar. Ayah dari kantor.
Pola kalimat
IV disebut kalimat adverbial
Jenis
Kalimat
A.
Kalimat inti dan kalimat non inti.
Kalimat inti
disebut juga kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang
lengkap bersifat deklaratif, aktif atau netral dan afirmatif. Dalam bahasa
Indonesia paling tidak kalimat inti kita dapati dengan pola sebagai berikut :
FN + FV =
Nenek datang
FN + FV + FN
= Nenek membaca komik
FN + FV + FN
+ PN = Nenek membacakan kakek komik
FN + FN =
Nenek dokter
FN + FA =
Nenek cantik
FN + Fnum =
Uangnya dua juta
FN + FP =
Uangnya di dompet
B.
Kalimat tunggal dan kalimat majemuk
Kalimat
tunggal : klausanya hanya satu
Kalimat
majemuk : klausa dalam kalimat terdapat lebih dari satu
Macam-macam
kalimat majemuk :
1) Kalimat
majemuk koordinatif.
2) Kalimat
majemuk subordinatif
3) Kalimat
majemuk kompleks.
C.
Kalimat mayor dan kalimat minor
Kalimat
mayor : klausanya lengkap, minimal mempunyai subjek dan predikat
Kalimat
minor : klausanya tidak lengkap, hanya terdiri dari S/P/O/K saja.
D.
Kalimat verbal dan kalimat non verbal
E.
Kalimat bebas dan kalimat terikat.
Wacana
a.
Pengertian Wacana
Wacana
adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Sebagai
satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam
wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.
Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari
kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan
kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana
itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur
yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
b. Alat
Wacana
Alat-alat
gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif,
antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan
bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua,
menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis
sehingga bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan menggunakan
kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang
sama yang terdapat kalimat yang lain.
Selain
dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga
dibuat dengan bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama,
menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam
wacana itu. Kedua, menggunakan hubungan generik – spesifik; atau sebaliknya
spesifik – generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua
bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat,
menggunakan hubungan sebab – akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau
isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima, menggunakan hubungan
tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama
pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.
c. Jenis
Wacana
Berkenaan
dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana
lisan dan wacana tulis.
Dilihat dari
penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi
wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari
penyampaian isinya dibedakan menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana
persuasi dan wacana argumentasi.
d. Subsatuan
Wacana
Dalam wacana
berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau sub-subsatuan wacana yang
disebut bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf. Namun, dalam wacana
–wacana singkat sub-subsatuan wacana tidak ada.
TATARAN LINGUISTK : SEMANTIK
Kajian
Semantik
Status
tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi dan sintaksis adalah tidak
sama. Semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh tataran, yaitu
berada di tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Makna yang menjadi objek
semantik sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sehingga
semantik diabaikan. Tetapi, pada tahun 1965, Chomsky menyatakan bahwa semantik
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa dan makna kalimat sangat
ditentukan oleh semantik ini.
Hakikat
Makna
Menurut de
Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari 2 komponen,
yaitu komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan
komponen signifie (yang diartikan) yang berwujud pengertian atau konsep (yang
dimiliki signifian). Menurut teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure,
makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut disamakan identitasnya dengan
kata atau leksem, berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki
oleh setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem dasar
maupun morfem afiks.
Di dalam
penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau leksem itu
seringkali terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya.
Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata
apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Pakar itu juga
mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada
di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Bahasa bersifat arbiter,
sehingga hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
Jenis Makna
a.
Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna
leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks
apapun. Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya,
sesuai dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya. Makna
gramatikal adalah makna yang ada jika terjadi proses gramatikal seperti
afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Makna kontekstual adalah
makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks
dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan
penggunaan bahasa itu.
b.
Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata
atau leksem dikatakan bermakna referensial jika ada referensnya atau acuannya.
Ada sejumlah kata yang disebut kata diektik, yang acuannya tidak menetap pada
satu wujud. Misalnya : kata-kata pronominal seperti, dia, saya dan kamu.
c.
Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna
denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki
oleh sebuah leksem. Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal.
Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang yang menggunakan kata tersebut.
Konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain.
d. Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976)
membagi makna menjadi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apapun. Makna konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal,
deotatif dan makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki
sebuah leksem atau kata bahasa. Makna asosiasi sama dengan perlambangan yang
digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai
kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-ciri yang ada pada leksem tersebut. Makna
konotatif termasuk dalam makna asosiatif, karena kata-kata tersebut berasosiasi
dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan dengan
perbedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang
kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan
bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna kolokatif berkenaan dengan
ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang
bersinonim.
e.
Makna Kata dan Makna Istilah
Pada
awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah makna leksikal, denotatif
atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi
jelas jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks
situasinya. Istilah mempunyai makna yang pasti, jelas, tidak meragukan,
meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, istilah sering dikatakan bebas
konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks.
f.
Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah
satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya,
baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Idiom terbagi atas idiom penuh
dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya telah melebur
menjadi satu kesatuan. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikal sendiri. Peribahasa memilliki makna yang
masih dapat ditelusuri dari makna unsurnya karena adanya “asosiasi” antara
makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Relasi Makna
Relasi makna
adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan
yang lain.
a. Sinonim
Yaitu
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan
ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya
tidak akan sama persis. Ketidaksamaan itu terjadi karena faktor :
1. Faktor
waktu
2. Faktor
tempat atau wilayah
3. Faktor
keformalan
4. Faktor
sosial
5. Faktor
bidang kegiatan
6. Faktor nuansa
makna
b. Antonim
Yaitu
hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan
kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
c. Polisemi
Yaitu kata
yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi, biasanya makna
pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah maknamakna yang dikembangkan
berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran
itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi
ini masih berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua
buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama dan maknanya
berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Pada kasus homonim ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon
dan homograf. Homofon adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran,
tanpa memperhatikan ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran yang ortografinya
dan ejaannya sama, tetapi ucapan dan maknanya berbeda. Perbedaan antara homonim
dengan polisemi adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk ujaran atau lebih
yang “kebetulan” bentuknya sama, dan maknanya berbeda, sedangkan polisemi yaitu
sebuah bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan demikian jelas
bahwa antara keduanya tidak punya hubungan sama sekali.
e. Hiponimi
Yaitu
hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam
makna bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat searah.
f.
Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala
dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.
Ketaksaan terjadi dalam bahasa tulis akibat perbedaan gramatikal karena
ketiadaan unsur lisan, karena ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi
beranaforis. Perbedaan homonim dengan ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua
buah bentuk atau lebih yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan ambiguitas
adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran makna atau lebih. Perbedaan polisemi
dengan ambiguitas adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada tataran kata, dan
makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu, sedangkan ambiguiti
adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat
perbedaan tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata
yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran.
Perubahan
Makna
Secara
sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang relative singkat,
makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam waktu yang relative lama ada
kemungkinan makna tersebut akan berubah. Ini tidak berlaku untuk semua
kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah kata saja, yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain :
1.
Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2.
Perkembangan sosial budaya
3.
Perkembangan pemakaian kata
4.
Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya
asosiasi
SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK
Linguistik
Tradisional
Sejarah
Linguistik dimulai dari linguistik tradisional, Tata bahasa tradisional
menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik; sedangkan tata bahasa
struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu
bahasa tertentu. Misalnya dalam merumuskan kata kerja, tata bahasa tradisional
mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian;
sedangkan tata bahasa struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat
berdistribusi dengan frase “dengan . . . .”.
Dalam
perkembangannya di dalam aliran linguistik tradisional dikenal linguistik zaman
Yunani. Sejarah studi bahasa pada zaman Yunani ini sangat panjang, yaitu dari
lebih kurang abad ke-5 S.M sampai lebih kurang abad ke 2 M. Masalah pokok
kebahasaan yang menjadi pertentangan pada linguis pada waktu itu adalah
pertentangan antara bahasa bersifat alami (fisis) dan bersifat konvensi
(nomos). Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu mempunyai hubungan
asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar
manusia itu sendiri. kaum naturalis adalah kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya.
Atau dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis.
Sebaliknya kelompok lain yaitu kaum konvensional, berpendapat bahwa bahasa
bersifat konvensi, artinya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil
tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Selanjutnya
yang menjadi pertentangan adalah antara analogi dan anomali. Kaum analogi
antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat
teratur. Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa.
Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa
itu. Sebaliknya, kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur.
Kalau bahasa itu tidak teratur mengapa bentuk jamak bahasa Inggris child
menjadi children, bukannya childs; mengapa bentuk past tense bahasa Inggris
dari write menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok
yang termasuk dalam aliriran ini adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M), Plato
(429-347 S.M), Aristoteles (384-322 S.M), Kaum Stoik (Abad ke-
4S.M), Kaum Alexandrian.
Kemudian
dikenal lingistik zaman Romawi. Studi bahasa pada zaman Romawi dapat
dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan
munculnya kerajaan Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang terkenal antara lain,
Varro (116 – 27 S.M) dengan karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan
karyanya Institutiones Grammaticae.
Lalu,
linguistik zaman Pertengahan. Studi bahasa pada zaman pertengahan di
Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa
Latin menjadi Lingua Franta, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa
diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan. Berikutnya, linguistik zaman Renaisans.
Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang menonjol
yang perlu dicatat, yaitu :
1)
Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai
bahasa Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab.
2)
Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga
mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah
juga perbandingan.
Dan yang
terakhir yang termasuk ke dalam linguistik tradisional adalah masa menjelang
lahirnya linguistik modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang sangat
penting dalam sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan adanya hubungan
kekerabatan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan
bahasa-bahasa Jerman lainnya. Dalam pembicaraan mengenai linguistik tradisional
di atas, maka secara singkat dapat dikatakan, bahwa :
a)
Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa
ujaran dengan bahasa tulisan;
b)
Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil
patokan-patokan dari bahasa lain, terutama bahasa Latin;
c)
Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni benar atau salah;
d)
Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan
logika;
e)
Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk
selalu dipertahankan.
Linguistik
Strukturalis
1. Ferdinand
de Saussure
Ferdinand de saussure (1857-1913) dianggap sebagai bapak linguistik modern, pandangannya dimuat dalam buku course de linguistique generle. Beliau mengemukakan teori bahwa setiap tanda linguistik (signe) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant (bentuk) dan komponen signifie (makna)
2. Aliran praha (terbentuk tahun 1926)
Tokohnya Vilem Mathesius. Aliran praha inilah yang pertama-tama membedakan tegas akan fonetik dan fonolog.
3. Aliran glosematik lahir di Denmark.
Tokohnya Louis Hjemslev beliau terkenal karena usaha untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
4. Aliran firthian
Tokohnya R. Firth (1890-1960) beliau terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi
5. Aliran linguistik sistemik
Tokohnya M.A.K Halliday belaiu mengembangkan teori Fith mengenai bahasa khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Pokok-pokok pandangannya antara variasinya pemberian bahasa tertentu berserta variasinya mengenai adanya gradasi dan kontinum.
6. Aliran tagmemik
Tokohnya Kenneth L. Pike, menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmen. Yang dimaksud tagmen adalah bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisisi slot tertentu.
Ferdinand de saussure (1857-1913) dianggap sebagai bapak linguistik modern, pandangannya dimuat dalam buku course de linguistique generle. Beliau mengemukakan teori bahwa setiap tanda linguistik (signe) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant (bentuk) dan komponen signifie (makna)
2. Aliran praha (terbentuk tahun 1926)
Tokohnya Vilem Mathesius. Aliran praha inilah yang pertama-tama membedakan tegas akan fonetik dan fonolog.
3. Aliran glosematik lahir di Denmark.
Tokohnya Louis Hjemslev beliau terkenal karena usaha untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
4. Aliran firthian
Tokohnya R. Firth (1890-1960) beliau terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi
5. Aliran linguistik sistemik
Tokohnya M.A.K Halliday belaiu mengembangkan teori Fith mengenai bahasa khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Pokok-pokok pandangannya antara variasinya pemberian bahasa tertentu berserta variasinya mengenai adanya gradasi dan kontinum.
6. Aliran tagmemik
Tokohnya Kenneth L. Pike, menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmen. Yang dimaksud tagmen adalah bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisisi slot tertentu.
Linguistik
Tranformasional dan Aliran-aliran Sesudahnya
Dunia ilmu
termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan
kegiatan yang dinamis, berkembang terus menerus sesuai dengan filsafat ilmu itu
sendiri yang selalu mencari kebenaran yang hakiki.
Tata Bahasa
Transformasi
Ahli
linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana
inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic
Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam
perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan
kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965)
disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis
tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative
syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard
theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative
semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist
program.
Setiap tata
bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky adalah merupakan teori dari bahasa
itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1)
Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh
pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
2)
Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga
satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa
tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Semantik
Generatif
Menjelang
dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan pengikut Chomsky, antara lain
Pascal, Lakoff, Mc Cawly, dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky,
memisahkan diri dari kelompok Chomsky dan membentuk aliran sendiri. Kelompok
Lakoff ini, kemudian terkenal dengan sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut
semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaksis diselidiki bersama
sekaligus karena keduanya adalah satu.
Tata Bahasa
Kasus
Tata bahasa
kasus atau teori kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore
dalam karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968 yang dimuat dalam
buku Bach, E. dan R. Harms Universal in Linguistic Theory, terbitan Holt
Rinehart and Winston.
Dalam
karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1)
modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2)
proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Yang
dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan
nomina.
Tata Bahasa
Relasional
Tata bahasa
relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap
beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh
aliran tata bahasa transformasi.
Tentang
Linguistik Di Indonesia
Hingga saat
ini bagaimana studi linguistik di Indonesia belum ada catatan yang lengkap,
meskipun studi linguistik di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup semarak.
Pada awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh para ahli Belanda
dan Eropa lainnya, dengan tujuan untuk kepentingan pemerintahan kolonial.
Pendidikan formal linguistik di fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum
seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan guru sampai akhir tahun lima
puluhan masih terpaku pada konsep-konsep tata bahasa tradisional yang sangat
bersifat normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut perkenalan
dengan konsep-konsep linguistik modern. Pada tanggal 15 November 1975, atas
prakarsa sejumlah linguis senior berdirilah organisasi kelinguistikan yang
diberi nama Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya adalah para
linguis yang kebanyakan bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi negeri
atau swasta dan di lembaga-lembaga penelitian kebahasaan. Penyelidikan terhadap
bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa nasional Indonesia, banyak pula
dilakukan orang di luar Indonesia. Misalnya negeri Belanda, London, Amerika,
Jerman, Rusia, dan Australia banyak dilakukan kajian tentang bahasa-bahasa
Indonesia. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan,
dan bahasa negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral
dalam kajian linguistik dewasa ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pelbagai segi dan aspek bahasa telah dan masih menjadi kajian yang dilakukan
oleh banyak pakar dengan menggunakan pelbagai teori dan pendekatan sebagai
dasar analisis. Dalam kajian bahasa nasional Indonesia, di Indonesia tercatat
nama-nama seperti Kridalaksana, Kaswanti Purwo, Dardjowidjojo, dan Soedarjanto,
yang telah menghasilkan tulisan mengenai pelbagai segi dan aspek bahasa
Indonesia.
No comments:
Post a Comment